Pages

Minggu, 20 Januari 2013

makalah - Aspek Hukum dan Etika Jurnalistik




Aspek Hukum dan Etika Jurnalistik


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang Masalah

Jurnalisme merupakan suatu kegiatan mencari, mengolah dan menyampaikan informasi kepada klhalayakluas.Pada intinya suatu berita itu harus jelas asalnya dan isinya pun harus lengkap. Berita dipandang lengkap apabila memberi keterangan tentang apa peristiwanya (what), (who) siapa, kapan (when), dimana (where), mengapa (why), danbagaimana peristiwanya (who). Mencakup 5W + 1H.Jurnalisme berasal dari kata”Acta Journa” (catatan harian).Jurnalistik dalam bahasaBelanda adalah “Journalistic”, sedangkan dalam bahasa Inggris adalah “Journalism”.Dimana keduanya berasal dari bahasa Perancis “Jour” yang berarti harian. Dapat disimpulkan bahwa jurnalistik merupakan pengetahuan/ilmu mengenai catatan harian (berita) dengan segala aspeknya mulai darimencar,mengelola hingga menyebarkan.
Aspek-aspek dalam jurnalisme meliputi proses pencarian, penulisan, penyuntingan, hingga proses penyebarluasan berita dengan menggunakan media yang ada, entah itu cetak, televise, maupun radio. Jurnalistik atau pers di Indonesia sejak lama telah berkembang. Hal ini ditandai dengan lahirnya peraturan perundang-undangan mengenai pers di Indonesia yang telah ada sejak tahun 1996.Seiring dengan reformasi yang terjadi pada tahun1999, insan pers seperti bebas dari “pasungan” yang selama ini mengekangnya.Pers kembali bisa menikmati “manisnya” kebebasan pers.
Pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkanlah UU.Pers No. 40/1999 mengenai pers yang mengatur berbagai kecaman tentang hak dan kewajiban pers, perusahaan pers, hingga mekanisme penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemberitahuan ataupun tayangan di media massa. Jurnalisme meruoakan media informasi dan komuikasi yang mempunyai peran penting dalam penyebarluasan informasi yang seimbang dan setimpal di masyarakat,serta mempunyai kebebasan dan tanggung jawab dalam menjaklankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontroldan perekat sosial.
Berkaitan dengan hal di atas sejarah munculnya UU Pers No. 40 Tahun 1999 adalah pada saat itu terjadi dikala era reformasi di zaman pemerintahan BJ.Habibie.Hal itu terjadi karena selama 32 tahun pers merasa terbelenggu sewaktu pemerintahan rezim Orde Baru oleh Soeharto.Sehingga gerak langkah pers seperti dipasung, dalamartian bahwa saat itu pers belum dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal yaitu sebagai kontrol pemerintah karena pers lebih cenderung corong ke pemerintah, kebebasan pers terlalu diatur oleh regulasi pada waktu itu.
Pers akhirnya UU pers muncul sebagai pijakan atau pedoman bagi insan pers agar bisa semakin berkembang dan menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik.Akan tetapi dengan munculnya UU pers maka juga ada batas-batas yang harus dipatuhi agar tidak memunculkan kesimpangsiuransebagai pedoman insan pers untuk menjalankan profesinya supaya tetap berpegang teguh pada tanggung jawab.Oleh sebab itu ditetapkanlah UU Pers No. 40 Tahun 1999.UU.No. 40/1999 memberikan pengertian yang subtansial mengenai pers.

1.2.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat kita tarik rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui aspek Hukum di dalam Jurnalistik,  undang-undang apa saja yang melindungginnya, serta Konstribusi apa saja yang diberikan oleh pers dalam bidang jurnalistik.
2.      Untuk mengetahui Kode etik para jurnalistik, dll

1.3.            Manfaat Makalah
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah, untuk mengetahui tentang aspek Hukum dan Etika dalam Bidang Jurnalistik, penambah wawasan dan lain sebagainya



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Seluk Beluk Jurnalistik di Indonesia

A.    Lahirnya  Jurnalisme
Jurnalisme merupakan suatu kegiatan mencari, mengolah dan menyampaikan informasi kepada klhalayakluas.Pada intinya suatu berita itu harus jelas asalnya dan isinya pun harus lengkap. Berita dipandang lengkap apabila memberi keterangan tentang apa peristiwanya (what), (who) siapa, kapan (when), dimana (where), mengapa (why), danbagaimana peristiwanya (who). Mencakup 5W + 1H.Jurnalisme berasal dari kata”Acta Journa” (catatan harian).Jurnalistik dalam bahasaBelanda adalah “Journalistic”, sedangkan dalam bahasa Inggris adalah “Journalism”.Dimana keduanya berasal dari bahasa Perancis “Jour” yang berarti harian. Dapat disimpulkan bahwa jurnalistik merupakan pengetahuan/ilmu mengenai catatan harian (berita) dengan segala aspeknya mulai darimencar,mengelola hingga menyebarkan.

B.     Aspek-aspek dalam jurnalisme
Aspek-aspek dalam jurnalisme meliputi proses pencarian, penulisan, penyuntingan, hingga proses penyebarluasan berita dengan menggunakan media yang ada, entah itu cetak, televise, maupun radio. Jurnalistik atau pers di Indonesia sejak lama telah berkembang. Hal ini ditandai dengan lahirnya peraturan perundang-undangan mengenai pers di Indonesia yang telah ada sejak tahun 1996.Seiring dengan reformasi yang terjadi pada tahun1999, insan pers seperti bebas dari “pasungan” yang selama ini mengekangnya.Pers kembali bisa menikmati “manisnya” kebebasan pers.
Pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkanlah UU.Pers No. 40/1999 mengenai pers yang mengatur berbagai kecaman tentang hak dan kewajiban pers, perusahaan pers, hingga mekanisme penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemberitahuan ataupun tayangan di media massa. Jurnalisme meruoakan media informasi dan komuikasi yang mempunyai peran penting dalam penyebarluasan informasi yang seimbang dan setimpal di masyarakat,serta mempunyai kebebasan dan tanggung jawab dalam menjaklankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontroldan perekat sosial.
Berkaitan dengan hal di atas sejarah munculnya UU Pers No. 40 Tahun 1999 adalah pada saat itu terjadi dikala era reformasi di zaman pemerintahan BJ.Habibie.Hal itu terjadi karena selama 32 tahun pers merasa terbelenggu sewaktu pemerintahan rezim Orde Baru oleh Soeharto.Sehingga gerak langkah pers seperti dipasung, dalamartian bahwa saat itu pers belum dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal yaitu sebagai kontrol pemerintah karena pers lebih cenderung corong ke pemerintah, kebebasan pers terlalu diatur oleh regulasi pada waktu itu.
Pers akhirnya UU pers muncul sebagai pijakan atau pedoman bagi insan pers agar bisa semakin berkembang dan menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik.Akan tetapi dengan munculnya UU pers maka juga ada batas-batas yang harus dipatuhi agar tidak memunculkan kesimpangsiuransebagai pedoman insan pers untuk menjalankan profesinya supaya tetap berpegang teguh pada tanggung jawab.Oleh sebab itu ditetapkanlah UU Pers No. 40 Tahun 1999.UU.No. 40/1999 memberikan pengertian yang subtansial mengenai pers.

C.    Pers
Definisi pers yaitu, suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjlankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya  dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan jenis saluran yang tersedia.Dimana pers saat ini tidak hanya terbatas pada media cetak maupun media elektronik tetapi juga telah merambah keberbagai medium informasi seperti internet.
Akan tetapi pada kenyataanya, pers di Indonesia harus tetap berpegang teguh pada kode etik jurnalistik, mengingat di dunia ini hampir tidak ada satupun pekerjaan yang dilaksanakan tanpa etika.Keberadaan suatu etika pada umumnya harus di junjung tinggi karena hal itulah yang membuat seorang manusia menjadi lebih beradab. Etika tersebut akan digunakan oleh seorang jurnalis sebagai pedoman tatkala ia menjalankan profesinya agar ia tidak lepas dari tanggungjawabnya. Kode etik jurnalistik merupakan aturan tata susila kewartawanan norma tertulis agar mengatur sikap, tingkah laku, dan tata krama penerbitan
Berdasarkan definisi tersebut maka dalan menjalankan profesinaya, seorang wartawan harus tetap berpegang teguh pada aturan-aturan yang terdapat dalam kode etik jurnalistik tersebut. Pers akan selalu berkaitan dengan segala peristiwa apaun yang tentu saja berhubungan dengan informasi, mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi, hingga masalah penyampaian hiburan kepada masyarakat. Dalam hal ini pers mulai menjalankan perannya sebagi abdi negara sekaligus masyarakat.
Sampai kapanpun dunia jurnalisme atau pers akan selalu dibutuhkan dan dicari karena dari sinilah semua elemen masyarakat bisa mengetahui kejadian atau peristiwa-peristiwa mengenai lingkungan sekitarnya, bahkan yang up to date sekaligus.

D.    Wartawan

Wartawan adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao;
Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
Harus ada keahlian (expertise).
Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan.(Assegaf,
1987). Menurut saya, wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat
kriteria profesioal tersebut.
Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1). Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya.
Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya.Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan.Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya.Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.
Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers).Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

E.     Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).KEJ itu antara lain menetapkan.
·         Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
·         Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
·         Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
·         Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut    namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
·         Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
·         Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI.Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat.Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

F.     Fungsi Pers
Fungsi pers ditandaskan sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.Sedang mengenai hak pers dikatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara.Tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pun pelarangan penyiaran.Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemudian dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Selain mengenai hak, UU Pers juga memuat kewajiban pers yaitu memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta azas praduga tak bersalah.Pers juga wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Kemudian bagaimana mengenai peranan pers?Dalam UU Pers ditegaskan, pers nasional melaksanakan peranan melalui hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, serta HAM.Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.Satu substansi penting untuk diingat bahwa UU Pers menjamin dan melindungi secara hukum profesi wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak kewajiban dan peranannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik pemerintah maupun masyarakat
Kalau kita berbicara mengenai kiat menghadapi pemberitaan pers pada era reformasi, beberapa aspek tersebut di atas harus menjadi acuan. Tekanan pemerintah yang otoriter terhadap pemberitaan pers selama sekitar 30 tahun, dan tiba-tiba membuka lebar-lebar kebebasan pers, memang membuat terjadinya semacam kegamangan dalam menerapkan kemerdekaan pers. Kegamangan tidak hanya meliputi jajaran pers, tapi juga masyarakat luas.
Tidak heran kemudian timbul pertanyaan siapa sebenarnya wasit yang berwenang menetapkan terjadinya pelanggaran kode etik sekaligus menjatuhkan vonis atas pelanggaran itu. Pertanyaan itu muncul karena dalam era reformasi sekarang kode etik terkesan kurang dijadikan acuan, sehingga masyarakat menuduh pers Indonesia telah mempraktikkan apa yang disebut “jurnalisme anarki”, “jurnalisme provokasi”, “jurnalisme preman”, “jurnalisme pelintir “, “jurnalisme cabul”, dan berbagai citra negatif lainnya. Padahal pada era kemerdekaan pers yang sangat liberal dewasa ini, penegakan etika pers dan ketentuan hukum sangat penting untuk menjaga dan menghindari agar tidak menjurus pada pemberitaan yang bersifat anarkis.Lebih-lebih sudah sejak lama berkembang pendapat sebagian Kalangan bahwa kode etik tidak perlu.Menurut mereka, kode etik hanya membatasi ruang gerak wartawan, dan membelenggu hak mengeluarkan pendapat dan berekspresi.
Dalam satu sarasehan yang diselenggarakan Dewan Kehormatan PWI bekerjasama dengan LKBN pada sekitar tahun 1989, salah seorang peserta menginterupsi dengan mengatakan bahwa kode etik tidak diperlukan.Peserta tadi bahkan menuduh kode etik jurnalistik sebenarnya hanya produk orang-orang tua yang seharusnya sudah turun panggung, tetapi masih ingin tetap eksis. Sementara bagi para wartawan lain terutama generasi muda kode etik hanya membatasi kebebasan pers terutama dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.Terus terang, sejak saat itu adanya kecenderungan kalangan sementara wartawan untuk menganggap enteng kode etik sebagai landasan moral profesi.    
Pemikiran negatif seperti itu justru seolah-olah mendapat legitimasi dari pemerintah, dengan melakukan deregulasi peraturan perundang-undangan di bidang pers, terutama menyederhanakan pemberian SIUPP. Pemberian SIUPP yang tadinya memerlukan l6 persyaratan, dengan Permenpen No 1 tahun 1998 yang ditandatangani Muhammad Yunus ketika itu disederhanakan hanya menjadi tiga syarat. Prosesnya pun sangat singkat, Menpen Muhammad Yunus juga mencabut SK Menpen No 47 tahun 1975 yang menetapkan PWI dan SPS sebagi satu-satunya organisasi bagi wartawan dan perusahaan pers. Sejak itu, berdiri puluhan organisasi wartawan.Bahkan dimungkinkan seorang wartawan untuk tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan yang ada.
Dengan bebasnya memperoleh SIUPP, siapa saja yang punya modal, dapat menerbitkan surat kabar, majalah, tabloid, dan lain-lain. Rekomendasi dari organisasi profesi juga tidak lagi diperlukan. Tidak heran kemudian ada pimpinan redaksi media yang sama sekali tidak berlatar belakang kewartawanan, sehingga profesionalitas media itu disangsikan. Pemaparan di atas hanya sekadar ilustrasi menggambarkan bahwa kondisi obyektif dunia pers kita sekarang, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang kurang pas mengenai keberadaan kode etik yang dianggap membatasi kemerdekaan pers. Selain pemikiran yang kurang pas mengenai keberadaan kode etik, ada juga pemikiran agak lucu yang mengatakan, membicarakan etika pers merupakan suatu kemunduran. Pemikiran seperti itu jelas tidak beralasan.Sebab, justru pada era kemerdekaan pers ini, penerapan etika pers menjadi sangat penting. Apabila kemerdekaan pers tidak dipagari etika jurnalistik, justru bisa menjadi bumerang karena akan menjurus ke anarkisme.
Pasalnya, kode etik merupakan rambu-rambu, kaidah penuntun dan sekaligus pemberi arah tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Atas dasar itulah di bagian terdahulu dikemukakan bahwa penerapan dan penegakan etika pers dan hukum sangat penting.
Pilar utama kode etik Perlu diingat, kalau seseorang terjun ke dunia kewartawanan, maka paling tidak ada tiga pilar utama yang menjadi pegangan dalam menjalankan tugasnya.
Piar utama pertama adalah kode etik jurnalistik.Seperti dikemukakan di atas, kode etik merupakan landasan moral, kaidah penuntun dan pemberi arah bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya. Percayalah, tanpa kode etik, pemberitaan pers akan menjadi anarkis. Dalam hubungan ini ada ungkapan tokoh pers nasional almarhum Mahbub Djunaedi, mantan Ketua Umum PWI Pusat.Beliau mengatakan, kode etik memang sengaja dibuat untuk menghindarkan wartawan menjadi terorisme dan anarkis.
Pilar utama kedua adalah norma hukum. Ternyata dalam praktiknya kode etik masih belum cukup. Masih mutlak diperlukan penataan akan norma hukum. Kode etik dan norma hukum memang sangat erat kaitannya. Sebab apa yang dilarang kode etik juga dilarang oleh hukum. Demikian sebaliknya, apa yang dilarang oleh hukum, juga dilarang oleh kode etik Namun etik dan hokum tidak identik Apa pasal?Suatu perbuatan pidana dapat dimaafkan secara hukum, tapi tidak dapat dimaafkan secara etika: Contoh klasik, dua orang yang berada dalam sebuah sampan berlayar di tengah laut tiba-tiba diterpa gelombang besar dan angin ribut, maka kalau ingin selamat salah seorang diantaranya harus dikorbankan. Dalam keadaan darurat seperti itu, tindakan mengorbankan nyawa orang lain untuk menyelamatkan atau membela diri, dapat dimaafkan secara hukum.
Tetapi secara etika tidak dapat dimaafkan .Berkenaan dengan norma hukum tersebut, perlu dikemukakan disini bahwa sejumlah media tengah menghadapi tuntutan hukum, baik pidana maupun perkara perdata umumnya bermuara pada tuntutan ganti rugi yang jumlahnya sangat fantastis meliputi puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Bisa dibayangkan apa jadinya apabila tuntutan ganti rugi tersebut dikabulkan pengadilan. Bisa-bisa media gulung tikar hanya karena terpaksa membayar ganti rugi. Oleh karena itulah penguasaan dan penataa akan norma hukum sangat penting.
Pilar utama ketiga adalah profesionalisme. Dalam praktik, ternyata penataan akan kode etik dan norma hukum saja tidak cukup. Oleh karenanya, mutlak diperlukan profesionalisme. Yaitu keterampilan untuk mengemas dan meramu berita sedemikian rupa, sehingga pesan yang akan disampaikan kepada publik dapat diterima dan dimengerti dengan jelas. Sebab bisa terjadi informasi yang disampaikan kepada publik tersebut tidak utuh dan tidak lengkap serta tidak jelas bahkan terkontaminasi kalau tidak dikemas dan diramu dengan baik sesuai standar berita yang baku. Sebab itu, sekali lagi perlu ditegaskan, ketiga pilar utama berupa norma etik, norma hukum dan profesionalisme dalam dunia kewartawanan sangat penting. Dengan kata lain, menurut persepsi kejurnalistikan, penerapan dan penataan norma etik dan norma hukum serta dukungan profesionalisme merupakan hal yang sangat mutlak. Bahkan penataan norma etik dan norma hukum serta profesionalisme merupakan rambu-rambu kemerdekaan pers yang professional dan bermartabat.
Dalam hubungan ini perlu diingatkan bahwa sekalipun konstitusi dan UU Pers yang berlaku sekarang telah dengan penuh menjamin kemerdekaan pers, namun kemerdekaan pers tidak berarti merdeka untuk melakukan apa saja. Merdeka untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain. Bukan itu maksudnya.

2.2.            Kode Etika Jurnalistik
1.      Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.      Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3.      Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4.      Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5.      Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.      Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
7.      Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
8.      Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9.      Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10.  Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
11.  Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12.  Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
13.  Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14.  Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan. (Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.)
15.  Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16.  Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17.  Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18.  Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

2.3.             Aspek Hukum Jurnalistik
BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
Pasal 1
Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Pasal 3
Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Pasal 4
Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan.
BAB II
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
Pasal 5
Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Pasal 6
Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.
Pasal 7
Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.
Pasal 8
Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban. ?

BAB III
SUMBER BERITA
Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita.
Pasal 10
Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.
Pasal 11
Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.
Pasal 12
Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.

Pasal 13
Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.
Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.
Pasal 14
Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan "off the record". ?
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan Indonesia harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.
Pasal 16
Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahawa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.
Pasal 17
Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.




BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut :
1.      Jurnalisme merupakan suatu kegiatan mencari, mengolah dan menyampaikan informasi kepada klhalayakluas.Pada intinya suatu berita itu harus jelas asalnya dan isinya pun harus lengkap. Berita dipandang lengkap apabila memberi keterangan tentang apa peristiwanya (what), (who) siapa, kapan (when), dimana (where), mengapa (why), danbagaimana peristiwanya (who). Mencakup 5W + 1H.Jurnalisme berasal dari kata”Acta Journa” (catatan harian).Jurnalistik dalam bahasaBelanda adalah “Journalistic”.
2.      Aspek-aspek dalam jurnalisme meliputi proses pencarian, penulisan, penyuntingan, hingga proses penyebarluasan berita dengan menggunakan media yang ada, entah itu cetak, televise, maupun radio. Jurnalistik atau pers di Indonesia sejak lama telah berkembang.
3.      Wartawan adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India.
4.      Kode Etik Jurnalisti : Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar, Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya, Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya, Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat, Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen, Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
5.      Berkaitan dengan hal di atas sejarah munculnya UU Pers No. 40 Tahun 1999 adalah pada saat itu terjadi dikala era reformasi di zaman pemerintahan BJ.Habibie.Hal itu terjadi karena selama 32 tahun pers merasa terbelenggu sewaktu pemerintahan rezim Orde Baru oleh Soeharto.Sehingga gerak langkah pers seperti dipasung.



DAFTAR PUSTAKA

Armada Sukardi, Wina. 2007, Close Up Seperempat Abad Pelaksanaan Kode Etik            Jurnalistik, Dewan Pers, Jakarta.
Girsan, Juniver, 2007, Penyelesaian Sengketa Pers.  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Ishwara, Luwi, 2005, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Kusumaningrat, Hikmat, Purnama kusumaningrat, 2006, Jurnalistik Teori dan Praktik.      Bandung Remaja Rosdakarya Bandung.
Kovach, Bill  & Tom Rosentiel, 2006,  Sembilan Elemen Jurnalisme, 2006, Pantau,            Jakarta. 
Luwarso, Lukas, Samsuri, 2007, Pelanggaran Etika Pers.Jakarta: Dewan Pers        bekerjasama dengan FES.
------------------------------ 2003, Panduan untuk Wartawan Menghindari Jerat           Hukum,           Jakarta;  SEAPA
Siregar, Ashadi. 1998, Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk media massa.            Yogyakarta: Kanisius. 1998
Siregar R.H., Ignatius Haryanto, 2006,  Membangun Kebebasan Pers yang Beretika,                     Dewan Pers, Jakarta. 
Sobur, Alex, 2001, Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Humaniora Utama             Press: Bandung.
Sumadiria, Haris, 2005, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Bandung:        SRM.
Setiati, Eni, 2005, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, Penerbit Andi,      Yogyakarta.
Santana Septiawan, 2005, Jurnalisme Kontemporer, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Zaenudin HM, 2007, Off the Record: Kisah-kisah Jurnalistik dari Lapangan dan Meja      Redaksi Surat Kabar, Prestasi Pustaka, Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About