Hukum Acara Perdata
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sudah merupakan sunnatullah, manusia diciptakan oleh tuhan
untuk hidup bersama dengan manusia lainya serta bersama mahluk dan lingkungan
sekitarnya untuk bermasyarakat dan menjaga hak dan kewajibanya atas diri dan
sesama. Dalam hidup bermasyarakat ini mereka saling menjalin hubungan yang
sifat dan jumlahnya tidak terhinga.
Dalam hidup, masing-masing orang kadang memiliki kepentingan
yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Adakalanya kepentingan mereka
saling bertentangan, yang kadang menimbulkan sengketa, untuk menghindarkan
gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu
dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap
angota masyarakat. Sehingga kepentingan angota masyarakat lainya akan terjaga
dan terlindungi, apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang
bersangkutan akan diberikan sanksi atau hukuman. Yang dimaksud dengan
kepentingan disini adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum
perdata materiil atau lazim disebut sebagai hukum acara perdata.
Hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang membuat
bagaimana caranya orang bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya pihak
yang terserang kepentinganya mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak
sekaligus memutus perkara dengan adil, bagaimana melaksanakan keputusan hakim
yang kesemuanya bertujuan agar hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum
perdata materiil itu dapat berjalan dengan semestinya, sehingga terwujud tegaknya
hukum dan keadilan.
Dengan demikian kedudukan hukum acara perdata amat penting,
karena adanya hukum acara perdata, masyarakat merasa adanya kepastian hukum
bahwa setiap orang berhak mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya
dan setiap orang yang melakukan pelangaran terhadap hukum perdata yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui pengadilan.
Selain itu hukum acara perdata juga berfungsi untuk menegakan, mempertahankan
dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik melalui
perantaraan peradilan. Dengan hukum acara perdata diharapkan akan tercipta
ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dapat kita tarik dari latar belakang diatas adalah :
·
Apa Pergertian dari Hukum Acara Perdata,
sifat-sifat, dan azas-azasnya, kemudian sejarah singkat hokum acara perdata di
Indonesia
1.3. Manfaat Penulisan
Dalam segala hal yang di buat manusia pasti mempunyai
tujuan yang akan di ingin di capai.
Begitu pula dengan makalah ini. Makalah ini mempunyai tujuan di antaranya: Untuk
mengetahui secara mendetail mengenai Hukum Acara Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata adalah rangkaian-rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Putusan hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas dalam makalah ini.
Putusan hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas dalam makalah ini.
Berikut
adalah beberapa pengertian Hukum Acara Perdata menurut beberapa pakar, Pada
dasarnya semua artian atau pengertian dari pada Hukum Acara Perdata memang
searah, maksud dari searah itu nyaris sama karena memang satu tujuan/ untuk
satu arti. Berikut pemaparannya:
a.
Menurut Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata
adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil dengan perantaraan hakim.
b. Menurut Retnowulan Sutantio
Hukum
Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum
yg menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil
•
Hukum formil atau hukum acara
adalah kumpulan
ketentuan-ketentuan dengan tujuan
memberikan pedoman dalam usaha
mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan
hukum dalam hukum materiil yang berarti
memberikan kepada hukum dalam hukum acara suatu hubungan yang
mengabdi kepada hukum materiil.
•
Hukum Acara adalah serangkaian langkah yang harus diambil seperti
yang dijelaskan oleh undang-undang pada saat suatu kasus akan dimasukkan ke
dalam pengadilan dan kemudian diputuskan oleh pengadilan.
•
Hukum Acara Perdata
merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan
atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara.
Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil
itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.
2.2.
Sejarah Singkat
Hukum Acara Perdata Di Indonesia
Pada
mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai peraturan khusus tentang Hukum Acara yang diperuntukkan kepada rakyat
Bumi Putra yang berperkara di Pengadilan, tetapi karena kebutuhan yang sangat
mendesak pemerintah Hindia Belanda mempergunakan Soh, 1119 No. 20 dengan
sedikit penambahan dan perubahan yang ti ak begitu berarti. Sementara itu. Mr.
H. L. Wichers yang menjabat Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda
(Hooggerechtshof) yang berkeduclukan & Batavia (sekarang Jakarta) melarang
dalam praktek pengadilan mempergunakan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan
golongan Eropa kepada rakyat Bumi Putra tanpa dilandasi dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan hal tersebut terjadi kekosongan
hukum acara dalam praktek peradilan untuk golongan Bumi Putra. sehingga
pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum acara khusus yang
diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim dalam
melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepadanya.
Dengan
beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun 1846 tanggal 5
Desember 1846, Mr. H.L. Wichers clitunjuk dan ditugaskan untuk menyusun sebuah
reglemen tentang administrasi. polisi, acara perdata dan acara pidana bagi
golongan pribumi atau Bumi Putra yang waktu itu terhadap mereka berlaku
Stb.1819 No. 20 yang memuat 7 (tujuh) pasal yang berhubungan dengan Hukum Acara
Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Mr. H.L Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan lamanya. Pada
tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk dibahas
lebih lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia
Belanda pada waktu itu. Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia
Belanda tersebut, berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L.
Wichers itu terlalu sederhana, mereka
menghendaki agar dalam rancangan tersebut supaya ditambah dengan lembaga
penggabungan jaminan, interventie dan reques civil sebagaimana yang terdapat
pada Rv. yang diperuntukkan pada golongan Eropa. (Supomo :1963:5 don Abdul
Kadir Muhammad, SH.: 1978:20).
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju
atas penambahan
sebagaimana tersebut di atas, terutama hat yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2). Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya
memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan Eropa di
pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta, Semarang dan Surabaya
saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra, selebihnya dilarang dipergunakan
untuk golongan Bumi Putra. Sikap Gubernur Jenderal ini didukung penuh oleh Mr.
H.L. Wichers, beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah sebagaimana yang tersebut dalam Rv,
sebaiknya Rv saja yang diberlakukan seluruhnya untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau konse-D rancangan itu
ditambah lagi dengan hat-hat yang
dianggap tidak begitu penting, dikhawatirkan konsep rancangan itu bukan
akan bertambah jelas tetapi malah akan menjadi kabur dan tidak terang lagi
rancangannya.
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama atas saran dari Gubernur Jenderal Jan
Jacob Rochussen, ketentuan yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2) dirubah,
kemudian ditambah suatu ketentuan penutup
yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan termuat dalam pasal 393
ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR sekarang ini. Pasal ini
merupakan pasal yang sangat penting karena
dalam pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan
untuk golongan Bumi Putra, tetapi apabila
benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakan ketentuan lain dalam
perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui perubahan d1an penambahan
sebagaimana tersebut di atas, akhirnya Gubernur Jenderal Jan Jacob
Rochussen pada tanggal
5 April 1848 menerima rancangan Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb. 1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku
secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan
sebutan "Reglement Op de Uitoefening
Van de Polite, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan "Inlandsch Reglement" (IR).
Ketentuan ini akhirnya disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan
firman raja tanggal 29 September 1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63. Reglement ini selain diperuntukkan golongan Bumi Putra (pribumi),
juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing di Jawa dan
Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur
Asing itu kecerdasannya disamakan dengan Bumi Putra. (Abdul Kadir
Muhammad, SH.: 1978: 21).
Dalam
perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement (IR) ini beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan penama
dilaksanakan pada tahun 1926 yang
merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru dalam IR tersebut yang
kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo. 496. Perubahan kedua
dilaksanakan pada tahun 1941. perubahan ini sangat mendasar sehubungan di
bentuknya Lembaga Penuntut Umum yang
anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan langsung
di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung
yang berdiri sendiri yang tidak terpecah-pecah (Ondeelbaar) dan togas lembaga tersebut menyangkut soal-soal
pidana sehingga perlu diatur juga
tentang acara pidananya- Oleh karena adanya perubahan yang sangat
mendasar ini. yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka
sebutan yang semuia 'Wandsch reglement"
diganti namanya menjadi 'Het HeTziene Inlandsch Reglement" disingkat
HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR disebut juga RIB. singkatan dari Reglement
Indonesia yang di:perbaharui. Pengundangan
secara keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941 No. 44.
Pada zaman penjajahan Jepang. Berdasarkan
undang-undang Nomor
1 Tahun 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7 Maret 1942 di Jawa dan
Madura memberlakukan ketentuan yang mengatakanbahwa semua Badan pemerintah dan
kekuasannva Hukum dan
Undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer. Atas
dasar Undang-undang ini HIR. Bg. masih tetap berlaku. Kemudian pada
bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai
Nippon mengeluarkan peraturan Baru tentang susunan dan kekuasaan
Pengadilan yaitu yang membentuk suatu Pengadilan
untuk tingkat pertama yang Hooin. dan Kootoo Hoon untuk pemeriksaan
tingkat tingkat banding. Kedua macam Peradilan
tersebut di peruntukan kepada semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan orang, kecuali bagi
orang-orang Jepang yang diadili
dengan Pengadilan sendiri. Dengan di hapusnya Raad Van Justitie
dan Residentie Gerech, dengan sendirinya Hukum Acara yang termuat dalam
B.R%-. juga tidak berlaku lagi kecuati untuk rnengisi kekosongan hukum sepanjang diperlukan sedangkan
dalam HIR dan R. Bg. juga tidak diatur. (Wirjono Projodikoro
: 1-962; 25 don Abdul Kadir Muhammad, SH: 1978.24-25).
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945
kondisi yang
berlaku pada zaman penjajahan Jepang tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan
pasal II dan IV Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor
2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap
berlaku sebagai Hukum Acara di
lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI. Kemudian dengan pasal 5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan,
kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan
sipil yang diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951 ditentukan bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus
dipedomani dalam pemeriksaan perkara
di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI.
2.3.
Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus
diketahui bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian
tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum
Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam
mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak.
Kebenaran yang diperoleh dari pembuktian berhubungan
langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang
dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim.
2.4.
Asas-Asas Dalam Hukum Acara Perdata
Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan
ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam mengajukan gugatan. Adapun asas-asas
dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:
1. Asas Hakim Aktif
Hakim sebagai tempat pelarian bagi
para pencari keadilan, dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi
tempat bertanya segala macam soal bagi rakyat. Seorang hakim diharapkan dapat
memberi pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya
serta berwibawa, dan juga memiliki sifat yang bijaksana.
Dalam peradilan perdata tugas hakim
adalah mempertahankan tata hukum perdata (burgelijke
rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara
(Supomo, 1985:13). Berhubung dengan tugas tersebut oleh ahli hukum sering kali
dipersoalkan mengenai seberapa jauh hakim harus mengejar kebenaran (waarheid) di dalam memutus perkara.
2.
Asas
Hakim Pasif
Selain hakim memiliki sifat aktif, juga
memilik sifat pasif, akan tetapi hanya dalam arti kata bahwa dalam ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa
pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim
(Sudikno Mertokusumo, 1988: 11).
Pengertian pasif diatas adalah yang
dianut oleh sistem hukum acara perdata dalam HIR/RBg, akan tetapi pengertian
pasif menurut regelement rechtsvordering
agak berbeda, yaitu bahwa proses beracara adalah soal kedua belah pihak yang
berperkara, yang memakai proses itu sebagai alat untuk menetapkan saling
hubungan hukumnya dikemudian hari, baik posistif maupun negatif, sedangkan
hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan
undang-undang dituruti oleh kedua belah pihak (Supomo, 1985:18)
3.
Asas
Terbukanya Pengadilan
Peraturan
hukum acara perdata seperti yang termuat dalam HIR mempunyai sifat yang
fleksibel dan terbuka, sebab HIR itu diciptakan untuk golongan bumiputera yang
hukum perdata materiilnya adalah hukum adat. Hukum adat selalu berdasarkan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat (Abdulkadir Muhamad, 1990:24).
Menurut
K. Wantjik Saleh (1981:13), dalam mencontoh lembaga hukum itu, pengadilan
menerapkan suatu “ciptaan sendiri” sehingga merupakan suatu “hukum
yurisprudensi”, jadi tanpa menyebutkan pasal-pasal dari regelement tersebut.
Asas terbukanya sidang pengadilan telah diatur dalam undang-undang kekuasaan
kehakiman, yang menentukan: sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum kecuali Undang-Undang menentukan lain (Pasal 18 ayat 1 UU No. 5 tahun 2004).
4.
Asas
Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Di
dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak
memihak dan didengarkan bersama-sama. Asas kedua belah pihak harus didengar
dikenal dengan asas “audi et alteram
partem atau Eines Mannes Rede ist
keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide”. Hal ini berarti bahwa
hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila
pihak lawan tidak didengar atau diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya. Hal ini berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/145, 157 RBg)
(Sudikno Mertokusumo, 1988:12).
5.
Asas
Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR/RBg
tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga
pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili
oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR/147 RBg). Dengan demikian
hakim tetap memeriksa sengketa yang diajukan, meskipun para pihak tidak
mewakilkan kepada seorang kuasanya (Sudikno Mertokusumo, 1988:16).
2.5. Sifat/Karakteristik
Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata
yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana (tidak
formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis
disamping juga hukum yang tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa (kata
“merasa” perlu digaris bawahi) haknya
dilanggar berhak untuk menuntut di
pengadilan atau orang yang “dirasa” melanggar hak dituntut dipengadilan. Dengan kata “merasa”
dan “dirasa” ini menunjukan bahwa belum tentu orang tersebut dilanggar haknya
dan melanggar hak orang lain.
Orang yang merasa haknya dilanggar disebut dengan
Penggugat. Sedang orang yang dirasa
melanggar hak Penggugat dan ditarik sebagai pihak dimuka pengadilan disebut
sebagai Tergugat.
Apabila dalam satu perkara terdapat banyak Penggugat,
maka disebut dengan Penggugat I, Penggugat II dan seterusnya yang kesemuanya
disebut dengan Para Penggugat. Demikian juga dengan Tergugat disebut dengan
Tergugat I, Terugat II dan seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para
Tergugat.
Sedangkan apabila terdapat pihak yang dalam praktek
disebut dengan Turut Tergugat yang merupakan pihak yang tidak menguasai barang
sengketa tapi harus diikutsertakan untuk melengkapi gugatan dan biasanya hanya
berkewajiban untuk mematuhi isi putusan.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
ü Hukum
formil atau hukum acara adalah
kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan
hukum dalam hukum materiil yang berarti
memberikan kepada hukum dalam hukum acara suatu hubungan yang
mengabdi kepada hukum materiil.
ü hukum
acara adalah serangkaian langkah yang harus diambil seperti yang dijelaskan
oleh undang-undang pada saat suatu kasus akan dimasukkan ke dalam pengadilan
dan kemudian diputuskan oleh pengadilan.
ü Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang
bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata
materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam
mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil itu terjadi melalui
peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.
ü Hukum
acara perdata yang berlaku saat ini
sifatnya luwes, terbuka dan sederhana (tidak formalistis). Para hakim mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang tertulis
sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab
Undang Udang Hukum Perdata
Mertokusumo,
Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta : Liberty.
Edisi VII)
Mr. C.
Asser’s Handleiding tot de beoefening van het Nedherlands Burgerlijk Recht,
Vijfde Deel : Van Bewijs, N.V. Uigevers Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink,
Zwolle. 1953.
Reglement
Biusten Govesten (RBg)
Yahya, M.
Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)
Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok
Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta: PT. Rineka Cipta
DOWNLOAD FILE DI SINI
MAKALAHNYA ISINYA SAMA DENGAN http://pankga.blogspot.com/2012/04/pengertian-hukum-acara-perdata-makalah.html
BalasHapusizin buat jadi referensi makalah ya min
BalasHapusizin buat jadi refrensi makalah yah min . thx
BalasHapusDengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamanya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu dengan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan Jasa Penulis Artikel
BalasHapus